Status Makanan Terhadap Hukum Ekonomi
STATUS MAKANAN MEMPENGARUHI PENJUALAN
PENDAHULUAN
Indonesia adalah Negara kepulauan yang memiliki suku, ras, budaya dan agama yang beragam, yang dipersatukan oleh pancasila dan diatur undang – undang agar terciptanya keamanan bernegara. Indonesia adalah Negara dengan mayoritas muslim sangat menjunjung tinggi nilai – nilai agama, persatuan kesatuan, toleransi, budaya dan adat.
Di Indonesia makanan halal adalah tolak ukur bagaimana suatu perusahaan dapat dikatakan masuk dalam kategori layak jual seperti yang terkandung dalam “Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2014 Tentang Jaminan Produk Halal”, sehingga bisa dipastikan karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim salah satu faktor penunjang keberhasilan perusahaan atas penjualan produk nya adalah memiliki lisensi “Halal” yang diperoleh dari pihak yang berwenang seperti MUI, karena jika tidak memiliki lisensi tersebut masyarakat tidak akan percaya terhadap produk tersebut dan penjualan akan mengalami penurunan.
1. Kasus
Kali ini saya akan membahas tentang permasalahan Perusahaan Ajinomoto yang dulu sempat menjadi pembicaraan di media cetak. Dahulu produk Ajinomoto ini pernah disinggung tentang halal atau nonhalal nya produk tersebut. Namun Perusahan Ajinomoto tetap optimis bahwa dimasa tersebut akan menuai keberhasilan dengan memakan waktu kurang lebih setahun lamanya. Walaupun di masa akan datang dia menyadari bahwa berat Ajinomoto telah melukai hati masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim sehingga menimbulkan trauma, antara yang muslim dan yang non muslim jelas proporsinya jauh lebih besar yang muslim. Apalagi setelah ditinggal beberapa bulan pasarnya telah ditempati pesaing.
2. Teori dan Isi
Jakarta - Setelah disetujui oleh Rapat Paripurna DPR-RI pada 25 September 2014, Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH) telah disahkan oleh Presiden RI ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono, pada 17 Oktober 2014. Selanjutnya, pada hari yang sama, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II Amir Syamsudin telah mengundangkan UU tersebut sebagai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014.
Dalam UU yang terdiri atas 68 pasal itu ditegaskan, bahwa produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di Wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Untuk itu, Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelanggarakan Jaminan Produk Halal (JPH).
Untuk melaksanakan penyelenggaraan JPH itu, menurut UU ini, dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal ((BPJPH) yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Agama. Dalam hal diperlukan, BPJPH dapat membentuk perwakilan di daerah.
“Ketentuan mengenai tugas, fungsi, dan susunan organisasi BPJPH diatur dalam Peraturan Presiden,” bunyi Pasal 5 Ayat (5) UU No. 33 Tahun 2014 itu.
Menurut UU inji, dalam penyelenggaraan Jaminan Produk Halal, BPJPH berwenang antara lain: a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH; b. Menetakan norma, standar, prosedur dan kriteria JPH; c. Menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal pada produk luar negeri; dan d. Melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri.
“Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud, BPJPH bekerjasama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), dan Majelis Ulama Indonesia (MUI),: bunyi Pasal 7 UU ini.
Mekanisme
UU ini menegaskan, permohonan Sertifikat Halal diajukan oleh Pelaku Usaha secara tertulis kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk. Adapun pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalal Produk dilakukan oleh Auditor Halal di lokasi usaha pada saat proses produksi.
“Dalam hal pemeriksaan Produk sebagaimana dimaksud terdapat Bahan yang diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di laboratorium,” bunyi Pasal 31 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014.
Selanjutnya, LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalal produk kepada BPJPH untuk disampaikan kepada Majelis Ulama Indonesia (MUI) guna mendapatkan penetapan kehalalan produk.
MUI akan menggelar Sidang Fatwa Halal untuk menetapkan kehalalan Produk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterimanya hasil pemeriksaan dan/atau pengujian Produkd ari BPJPH itu. Keputusan Penetapan Halal Produk akan disampaikan MUI kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan Sertifikat Halal.
“Dalam hal Sidang Fatwa Halal menyatakan Produk tidak halal, BPJPH mengembalikan permohonan Sertifikat Halal kepada Pelaku Usaha disertai dengan alasan,” bunyi Pasal 34 Ayat (2) UU ini.
Sementara yang dinyatakan halal oleh Sidang Fatwa Halal MUI akan menjadi dasar BPJPH untuk menerbitkan Sertifikat Halal paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak keputusan kehalalan Produk diterima dari MUI.
Menurut UU ini, Pelaku Usaha yang telah memperoleh Sertifikat Halal wajib mencantukam Label Halal pada: a. Kemasan produk; b. Bagian tertentu dari Produk; dan/atau tempat tertentu pada Produk.
“Pencantuman Label Halal harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak,” bunyi Pasal 39 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 itu.
Sertifikat Halal berlaku selama 4 9empat) tahun sejak diterbitkan oleh BPJPH, dan wajib diperpanjang oleh Pelaku Usaha dengan mengajukan pembaruan Sertifikat Halal paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum masa berlaku Sertifikat Halal berlaku.
Transisi
Sertifikat Halal yang telah ditetapkan oleh MUI sebelum UU ini berlaku dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu Sertifikat Halal tersbut berlaku. Dan sebelum BPJPH dibentukm pengajuan permohonan atau perpanjangan Sertifikat Halal dilakukan sesuai dengan tata cara yang berlaku sebelum UU ini diundangkan.
UU ini juga menegaskan, bahwa MUI tetap menjalankan tugasnya di bidang Sertifikasi Halal sampai dengan BPJPH dibentuk.
“BPJPH harus dibentuk paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak UU ini diundangkan,” bunyi Pasal 64 UU No. 33/2014 itu.
Adapun peraturan pelaksanaan UU ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak UU ini diundangkan. “UU ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal 68 UU yang diundangkan oleh Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsudin pada 17 Oktober 2014 itu.
Produk Ajinomoto. Bubu penyedap rasa ini tesandung masalah kandungan zat babi. Polemic ini membuat otoritas agama turun tangan. Masalah sensitive ini terjadi karena Indonesia Negara muslim terbesar didunia. Pemerintah Gus Dur kala itu meminta kasus ini jadi domain ilmiah. Perlu ada investigasi keilmuan yang otentik. Bukan dasar perasangka semata, namun produk ini terlanjur terkena cap miring. Perusahaan lalu mengalami kerugian yang besar. Produk ditarik dari pasaran dan citra yang tercoreng. Meski selang beberapa tahun kemudian, produk ini kembali meluncurkan barang ke pasaran.
Kasusu hukum ekonomi yang dialami produk Ajinomoto ini tidak saja terkena kepada satu produk melainkan merembet ke produk lainnya keluaran Ajinomoto. Padahal produk dari perusahaan ini termasuk yang memiliki citra yang baik selama puluhan tahun. Tapi ibarat pepatah “karena nila setitik rusak susu sebelanga”, kejadian itu mencoret citra Ajinomoto yang selama ini baik – baik saja. Apalagi kasus hukum ekonomi ini memasuki prinsip agama, yang sangat sensitive. Untuk urusan sensitive seperti itu seorang muslim tidak mau mengambil resiko, apalagi bila otoritas agama sampai turun tangan.
Pembuktian secara ilmiah produk tersebut tidak mengandung lemak babi atau yang mengandung lemak babi hanya produk dengan kode produksi tertentu misalnya, tidak akan serta – merta mampu memulihkan keadaan. Peristiwa penarikan seluruh produk dari pasar saja bagi perusahaan merupakan kerugian yang tidak ternilai, apalagi bila kasusu hukum ekonomi tersebut benar – benar terbukti.
3. Analisa dan Solusi
1. Memulihkan posisi pasar Ajinomoto namun memakan waktu yang lama.
· Akan memakan banyak biaya yang besar pula untuk commitment dari Pemegang Saham.
· Namun meskipun memerlukan banyak biaya tetapi pengguna tidak bisa menghamburkan.
2. Kuncinya adalah bukan lagi di market marketing communication namun advertising, public relation, publicity, and promotion citra yang tidak baik menjadi lebih baik untuk dibahas lagi. Namun seorang Mass Comunications genius akan mengkomunikasikan kembali produk Ajinmoto secara efektif dan popular. Tetapi jangan diberi bobot strategis yang berlebihan.
3. Keadan ekonomi yang parah dan semaikn parah merupakan saat baik untuk Ajinomoto merebut pasar asal market yang sangan price sensitive dan information sensitive. Maka para pesaing tidak bisa menandingi komitmen. Pemegang saham Ajinomoto untuk mengembalikan posisi Ajinomoto , paru paru pesaing tidak cukup besar untuk diajak menyelam begitu lama.
4. Lalu menjalankan di distribution strategi Ajinomoto.
· Kuncinya adalah Kunci suksesnya adalah proses yang halal dan bahan baku proses juga harus halal, jangan setengah-setengah atau masih diperdebatkan. Memarketingkan kembali Ajinomoto akan lebih mudah kalau persoalan pokoknya bisa dituntaskan,
· SIM adalah suatu sistem informasi yang digunakan untuk menyajikan informasi yang digunakan untuk mendukung dan pengambilan keputusan dalam sebuah organisasi. Sistem informasi manajemen bertujuan memenuhi kebutuhan informasi kepada manajer untuk smua perusahaannya dalam bentuk output maupun laporan berbagai simulasi.
REFRENSI :
Komentar
Posting Komentar